dakwahmahasiswa.or.id

Menulis dan Melawan Sunyi dari Pinggiran Negeri

Sumber: Isrimewa

Oleh* Muhammad Asmar JomaDirektur Bidang Penelitian dan Pengembangan LDMI PB-HMI

“Menulis adalah cara paling senyap namun paling berbahaya untuk menembus batas-batas yang dibuat oleh kekuasaan dan ketidakpedulian.”

Kabar Timteng, dakwamahasiswa.or.id –Sunyi bukan hanya suara yang hilang namun  kekuasaan yang diam. Entahla narasi ini di interpertasi seperti apa oleh pembaca. Satu kata yang paling menyakitkan bagi saya adalah tidak mampu melawan sunyi ketika kita sedang menulis dan menarasikan sebuah cerita yang mungkin saja bermakna secara filosofi.

Di negeri yang aku tempati, sunyi melingkupi kampung-kampung pesisir, desa-desa di perbatasan, pulau-pulau kecil yang jarang disebut dalam berita utama. Sunyi adalah jarak antara kekuasaan dan rakyatnya, antara pusat dan pinggiran, antara mereka yang berbicara dan mereka yang dibungkam oleh realitas.

Dari tempat saya berdiri di sebuah desa kecil namanya Dama di Loloda Kepulauan, terletak di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, saya belajar bahwa melawan sunyi bukan dengan teriakan, tetapi dengan menulis.

Menulis adalah cara paling senyap namun paling berbahaya untuk menembus batas-batas yang dibuat oleh kekuasaan dan ketidakpedulian.

Seperti yang dinyatakan bell hooks dalam Teaching to Transgress (1994), “Menulis adalah tindakan politik yang paling radikal karena ia menghidupkan suara-suara yang berusaha dibungkam.”

Sunyi yang kami hadapi bukan sekadar keterbatasan fisik, seperti jauhnya akses jalan, minimnya sinyal internet, atau terbatasnya fasilitas pendidikan. Sunyi kami adalah sunyi epistemik ketiadaan representasi dalam diskursus nasional.

Kami jarang dianggap sebagai bagian dari percakapan tentang pembangunan, teknologi, geopolitik, atau masa depan bangsa. Dalam peta wacana nasional, kami sering menjadi ruang kosong.

Dalam konteks ini, menulis dari pinggiran menjadi tindakan perlawanan yang nyata. Juga menjadi upaya merebut ruang bicara, membalikkan peta makna, dan menulis narasi dari sudut pandang yang sering diabaikan.

Menulis adalah bentuk klaim, klaim bahwa kami ada, bahwa kami berpikir, bahwa kami menolak untuk direduksi menjadi sekadar objek dari kebijakan yang diputuskan dari jauh.

Dalam The Wretched of the Earth (1961), Frantz Fanon menegaskan bahwa membangun narasi sendiri adalah bagian integral dari dekolonisasi jiwa. Menulis bagi komunitas pinggiran adalah langkah pertama untuk merebut kembali kendali atas identitas, sejarah, dan masa depan mereka sendiri.

Namun, menulis dari pinggiran bukan tanpa tantangan.

Pertama adalah tantangan material: keterbatasan sumber daya, akses literatur, dan sarana publikasi.

Kedua adalah tantangan kultural: rasa minder, keraguan diri, dan internalisasi bahwa “suara kita tidak penting”

Ketiga, dan mungkin yang paling berat, adalah tantangan struktural: ketidakadilan sistemik yang membuat tulisan dari pinggiran jarang diberi ruang dalam media arus utama.

Di tengah tantangan ini, saya percaya bahwa konsistensi adalah bentuk lain dari perlawanan.

Menulis secara terus-menerus, bahkan ketika tidak ada yang membaca, adalah bentuk keimanan terhadap nilai intrinsik dari kebenaran. Menulis dari pinggiran berarti menanam benih di tanah yang keras, dengan harapan bahwa suatu saat pohon itu akan tumbuh, bahkan jika kita sendiri tidak sempat berteduh di bawahnya.

Dalam dunia yang semakin terkoneksi ini, teknologi digital membuka peluang baru untuk melawan sunyi. Blog, media sosial, jurnal daring, dan platform open-access memberi ruang bagi suara-suara dari pinggiran untuk mencapai audiens global.

Seperti yang dikemukakan oleh Manuel Castells dalam Networks of Outrage and Hope (2012), jaringan digital memungkinkan “subaltern” untuk berbicara, mengorganisasi diri, dan membentuk opini publik.

Namun, peluang ini juga membawa tantangan baru. Arus informasi yang deras bisa membuat suara dari pinggiran tenggelam dalam kebisingan digital. Oleh karena itu, penting untuk menulis dengan kesadaran strategis: memilih isu yang relevan, menggunakan bahasa yang kuat, dan membangun jejaring solidaritas lintas komunitas.

Menulis dari pinggiran juga mengajarkan kita tentang pentingnya otentisitas. Dunia tidak membutuhkan tiruan dari suara-suara pusat. Dunia membutuhkan keunikan perspektif dari mereka yang hidup di antara ombak, yang tahu bagaimana rasanya menunggu kapal barang yang tak pernah datang, yang mengerti arti sabar dalam hujan badai.

Dalam setiap tulisan, kita membawa serpihan kehidupan, aroma garam di udara pesisir, suara jangkrik di malam tanpa listrik, impian anak-anak yang belajar membaca di bawah lampu minyak. Menulis dari pinggiran adalah menulis dari pengalaman hidup yang riil, bukan dari teori atau asumsi belaka.

Sebagaimana disampaikan Chimamanda Ngozi Adichie dalam The Danger of a Single Story (2009), bahaya terbesar dalam literasi global adalah ketika satu cerita saja yang mendominasi, menyingkirkan ribuan cerita lain yang tak kalah sahih.

Menulis dari pinggiran adalah menolak “cerita tunggal” itu. Ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa dunia ini luas, kompleks, dan penuh dengan narasi yang layak didengar.

Maka, melawan sunyi berarti membangun arsip alternatif. Setiap essay, setiap puisi, setiap catatan harian dari kampung-kampung kecil kita adalah bagian dari arsip itu.

Arsip ini akan menjadi saksi bahwa di antara gelombang modernisasi dan globalisasi, ada suara-suara kecil yang bertahan, menulis, dan bermimpi.

Akhirnya, menulis dari pinggiran bukan hanya tentang berbicara untuk didengar, tetapi tentang berbicara untuk tetap hidup. Ini adalah pernyataan eksistensial bahwa kami ada, kami berpikir, kami berjuang. Dan bahwa dari pinggiran negeri, dari desa-desa yang dikepung sunyi, suara-suara baru sedang bangkit, menulis sejarah masa depan mereka sendiri.

Melawan Sunyi dan Membaca Dunia

Dalam sunyi yang membentang dari pesisir Dama hingga ke lorong-lorong kecil negeri Ngara Mabeno, menulis bukan sekadar aktivitas intelektual. Menulis juga bagian dari tindakan melawan. Melawan lupa, melawan invisibilitas, melawan takdir yang dipaksakan oleh kekuasaan yang jauh dan kadang bahkan tidak peduli.

Menulis dari pinggiran adalah cara untuk mengatakan “Kami ada”. Setiap kata adalah batu kecil yang dilemparkan ke danau besar ketidakpedulian, membentuk riak-riak kecil yang mungkin suatu hari akan tumbuh menjadi ombak perubahan.

Dalam dunia yang hiruk-pikuk ini, di mana suara dari pusat begitu mendominasi, suara dari pinggiran harus lebih tajam, lebih jujur, dan lebih sabar.

Sunyi seringkali tidak dihadapi dengan keramaian, melainkan dengan ketekunan. Seperti seorang petani yang terus menabur benih meski musim belum tentu berpihak, seorang penulis dari pinggiran harus terus menulis, bahkan ketika tak ada tepuk tangan, bahkan ketika tak ada penerbit besar yang melirik.

(am/dm)

Share :

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *