dakwahmahasiswa.or.id

Mengkonstruksi Dakwah Holistik-Transformatif: (Refleksi Muslem LDMI Cabang Semarang 2025)

Oleh*Muhammad Wildan Maulana (Direktur LDMI HMI Cabang Semarang)

Dakwah bukan sekadar transfer pengetahuan agama, melainkan proses yang mengubah cara berpikir, membentuk sikap, dan menata struktur sosial menuju keadilan, keberdayaan, dan kemaslahatan.

Kabar Timteng, dakwamahaiswa.or.id-Dakwah, pada hakikatnya, adalah usaha menghadirkan Islam dalam denyut kehidupan sehari-hari. Namun, realitas kita hari ini kerap menunjukkan kecenderungan dakwah yang terjebak dalam pola seremonial: ceramah penuh retorika, kajian yang ramai, tetapi seringkali tak berbekas pada perilaku nyata.

Inilah titik di mana gagasan dakwah holistik yang diperkenalkan Abdul Fattah al-Bayanuni menemukan relevansinya. Dakwah tidak boleh berhenti di tataran wacana, melainkan harus utuh: mengajarkan, membimbing, sekaligus menghadirkan nilai Islam dalam praksis sosial.

Al-Bayanuni mendefinisikan dakwah sebagai “seperangkat kaidah dan prinsip yang menjadi sarana untuk menyampaikan Islam, mengajarkannya, serta menerapkannya dalam kehidupan.”

Definisi di atas menegaskan bahwa dakwah holistik menuntut integrasi antara aspek intelektual, spiritual, dan praksis. Dakwah bukan hanya menyampaikan (tabligh), tetapi juga membentuk (takwīn) dan menggerakkan (tanfīdz).

Bagi LDMI Cabang Semarang, refleksi ini mendorong kesadaran bahwa dakwah holistik mesti dipahami sebagai proyek transformatif.

Dakwah bukan sekadar transfer pengetahuan agama, melainkan proses yang mengubah cara berpikir, membentuk sikap, dan menata struktur sosial menuju keadilan, keberdayaan, dan kemaslahatan.

Di kampus, misalnya, dakwah tidak berhenti pada ajakan shalat berjamaah, tetapi juga mengasah kesadaran kritis terhadap isu-isu korupsi, intoleransi, hingga kerusakan lingkungan.

Dalam konteks ini, Mokhamad Abdul Aziz dalam bukunya “Dakwah dan Kekuasaan” menegaskan bahwa dakwah seharusnya menjadi problem solving, bukan bagian dari masalah itu sendiri.

Artinya, dakwah harus mampu menghadirkan solusi, menyinari jalan keluar, dan menjadi pencerah di tengah gelapnya peradaban. Pandangan ini menambah bobot refleksi kita: dakwah yang sejati adalah yang membebaskan manusia dari kebingungan, bukan menambah kebisingan wacana tanpa arah.

Namun, refleksi ini juga menuntut kita jujur menatap kenyataan: dakwah hari ini tidak jarang terjebak dalam arus komersialisasi. Dakwah berubah menjadi panggung popularitas, bahkan ladang mencari keuntungan.

Fenomena “amplopisasi” menjadikan dakwah kehilangan kesuciannya; dari yang seharusnya berorientasi ibadah dan pencerahan, bergeser menjadi transaksi jasa. Padahal, dakwah sejatinya adalah amanah luhur, bukan komoditas.

Kritik ini penting agar kita tidak larut dalam praktik yang justru mengikis keikhlasan dan mereduksi misi dakwah itu sendiri.

Al-Bayanuni menekankan tiga unsur kunci keberhasilan dakwah: materi, metode, dan da’i. Materi dakwah harus bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan pemahaman kontekstual.

Metode dakwah harus adaptif, menggabungkan pendekatan rasional (ʿaqli), emosional (ʿāthifi), dan praktis (hissi). Sementara itu, sosok da’i sendiri harus menjadi teladan—karena keteladanan jauh lebih kuat pengaruhnya daripada ribuan kata.

Bagi kader LDMI, ini berarti pentingnya mengembangkan keilmuan yang mendalam, strategi yang kreatif, dan integritas personal yang kokoh.

Holistik berarti menyentuh seluruh dimensi kehidupan. Dakwah transformatif tidak cukup berhenti di ruang ibadah, tetapi harus menjangkau pendidikan, ekonomi, budaya, bahkan politik.

Rasulullah SAW bukan hanya menyampaikan khutbah, tetapi juga menata pasar, membangun ukhuwah, dan menegakkan keadilan. Dari teladan itu, dakwah LDMI semestinya membentuk mahasiswa yang tidak hanya saleh secara individual, tetapi juga peka terhadap problem sosial di sekitarnya.

Era digital menambah urgensi pendekatan holistik. Media sosial memberi ruang luas, namun juga membawa tantangan berupa banjir informasi dangkal dan provokatif.

Strategi dakwah al-Bayanuni terasa kontekstual di sini: memadukan metode, media, dan pesan agar Islam hadir bukan sebagai jargon, tetapi sebagai energi perubahan. Konten dakwah harus mendidik, mencerahkan, sekaligus mendorong aksi nyata.

Refleksi bagi LDMI Semarang jelas: dakwah holistik-transformatif bukan sekadar wacana intelektual, melainkan panggilan untuk bergerak.

Kader dakwah harus berani memadukan kekuatan spiritual dengan analisis sosial, menyapa mad’u bukan hanya di masjid, tetapi juga di ruang kelas, organisasi, hingga kanal digital. Dengan begitu, dakwah tidak lagi menjadi monolog yang hampa, melainkan dialog yang hidup, membebaskan, dan menggerakkan.

Akhirnya, dakwah holistik-transformatif adalah proyek peradaban. Islam tidak hanya untuk didengar, tetapi untuk dihidupkan.

Seperti ditegaskan al-Bayanuni, dakwah adalah mengajarkan sekaligus menerapkan. Jika LDMI mampu menginternalisasi gagasan ini, maka dakwah mahasiswa tidak berhenti sebagai ritual, melainkan menjelma menjadi gerakan perubahan yang mengakar dan berkelanjutan.

(am/dm)

Share :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *