Oleh* Muhammad Asmar Joma–Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan LDMI PB-HMI
“Kisah perahu nelayan hari ini adalah refleksi lebih luas tentang bagaimana dunia maritim menjadi laboratorium kecil dari pertarungan geopolitik sumber daya, inovasi teknologi, dan resistensi komunitas akar rumput.”
Kabar Timteng, dakwamahasiswa.or.id – Revolusi industri telah mengalami fase perkembangan dari mesin uap, listrik, digitalisasi, hingga kecerdasan buatan, telah melahirkan gelombang transformasi sosial dan ekonomi global yang tak terelakkan. Gelombang ini yang dulu tampak jauh dari hamparan desa-desa nelayan, kini telah menghempas keras perahu-perahu kecil di pesisir.
Apa yang dulu menjadi domain eksklusif industrialisasi kota kini menebarkan pengaruhnya hingga ke ujung-ujung negeri, ke tempat di mana jaring-jaring nelayan menggantung di bawah matahari tropis.
Kehadiran revolusi industri di wilayah pesisir bukan hanya soal mesin dan teknologi, melainkan perubahan paradigma. Revolusi ini membawa arus deras perubahan nilai, cara produksi, hingga hubungan manusia dengan sumber daya alam.
Perahu nelayan yang sederhana kini harus bersaing dalam ekosistem baru yang diwarnai oleh kapal-kapal modern, sistem logistik berbasis AI, dan rantai pasok global yang menuntut efisiensi tinggi.
Seiring berkembangnya Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI), aktivitas nelayan tidak lagi sebatas hubungan intuitif dengan laut. Teknologi mengubah pola navigasi, cara mengidentifikasi titik-titik ikan, dan bahkan menentukan musim tangkap terbaik. Akan tetapi, tidak semua komunitas pesisir memiliki akses atau kemampuan adaptif terhadap perubahan ini.
Di satu sisi, inovasi ini membuka peluang baru dan pada akhirnya hasil tangkapan juga lebih besar, keamanan pelayaran yang lebih baik, dan prediksi cuaca yang akurat. Namun di sisi lain, tanpa kesiapan struktural dan pendidikan teknologi yang memadai, inovasi ini justru memperbesar kesenjangan sosial antara nelayan kecil dan industri perikanan besar.
Revolusi industri juga membawa dampak budaya yang subtil namun menghujam, bisa saya katakan hilangnya tradisi lisan tentang musim, arus, dan tanda-tanda alam yang selama berabad-abad menjadi pengetahuan vital nelayan. Pengetahuan lokal perlahan digantikan oleh data statistik dari satelit dan sensor elektronik.
Sachs (2020) dalam The Ages of Globalization, setiap gelombang revolusi teknologi selalu membawa “biaya kultural” hilangnya identitas dan cara hidup tradisional yang digantikan oleh narasi efisiensi dan produktivitas.
Lebih dari itu, revolusi industri maritim menciptakan struktur ketergantungan baru. Nelayan kecil yang dulu mandiri, kini bergantung pada perusahaan teknologi untuk akses data laut, lisensi tangkap, hingga platform distribusi pasar.
Dalam konteks ini, perahu nelayan kecil bukan hanya simbol romantik kehidupan pesisir, melainkan medan nyata pertarungan antara keberlanjutan lokal dan kapitalisme global berbasis teknologi.
Di tengah transformasi ini, penting untuk menyadari bahwa modernisasi bukanlah keniscayaan netral. Melainkan menjadi medan konflik nilai antara efisiensi dan keberlanjutan, antara homogenisasi dan keberagaman, antara dominasi teknologi dan hak komunitas lokal.
Kisah perahu nelayan hari ini adalah refleksi lebih luas tentang bagaimana dunia maritim menjadi laboratorium kecil dari pertarungan geopolitik sumber daya, inovasi teknologi, dan resistensi komunitas akar rumput.
Oleh sebab itu, membaca perubahan ini tidak cukup hanya dengan lensa teknologi. pembacaan itu harus dibaca dengan lensa hak asasi manusia, keadilan ekologi, dan kedaulatan komunitas.
Di tengah hegemoni narasi revolusi industri, anak-anak pesisir harus diajarkan untuk menjadi navigator kritis, bukan sekadar penumpang dalam kapal besar globalisasi.
Masa depan perahu nelayan bukan hanya bergantung pada kecepatan mengadopsi teknologi baru, tetapi pada keberanian membangun peta alternatif di mana kearifan lokal, teknologi adil, dan solidaritas lintas komunitas menjadi mercusuar baru di tengah gelombang perubahan.
Digitalisasi Laut dan Krisis Identitas Nelayan
Transformasi yang terjadi di sektor kelautan dapat disebut sebagai bagian dari “Industri 4.0 Maritim”. Saya melihat bahwa revolusi teknologi membawa automasi peralatan tangkap, sistem navigasi berbasis satelit, aplikasi monitoring hasil laut, dan blockchain dalam rantai pasok perikanan.
Namun, bagi banyak nelayan kecil, digitalisasi ini lebih sering berarti keterpinggiran baru. Mereka tidak hanya kehilangan pasar yang kini dikendalikan oleh platform digital besar, tetapi juga identitas mereka sebagai pengelola tradisional laut.
Ketika algoritma menentukan harga ikan, dan ketika aplikasi mendikte zona tangkap berbasis big data, nelayan tradisional terancam menjadi sekadar operator di sistem yang tak mereka pahami.
Selain itu, penguasaan teknologi oleh perusahaan besar menciptakan “digital enclosures” wilayah-wilayah laut yang secara de facto dikendalikan oleh korporasi melalui data, lisensi, dan hak eksklusif. Hal ini membatasi ruang gerak tradisional nelayan dan mempercepat pemiskinan struktural.
Digitalisasi tidak netralme dengan dinamika dunia yang bawah nilai ideologi, dan kekuasaan baru yang harus dibaca secara kritis. Tanpa resistensi yang berbasis pada pemahaman mendalam akan teknologi dan hak komunitas pesisir, revolusi industri ini bisa menjadi bentuk kolonialisme baru di laut.
Meski menghadapi tantangan besar komunitas nelayan tidak selalu pasif. Banyak inisiatif akar rumput muncul untuk merespons perubahan ini secara kreatif.
Di beberapa tempat koperasi nelayan mulai mengadopsi teknologi sederhana seperti aplikasi prediksi cuaca, pasar daring komunitas, hingga sistem verifikasi hasil tangkapan berbasis blockchain untuk memastikan transparansi perdagangan.
Keberhasilan adaptasi komunitas pesisir sangat tergantung pada kemampuan kolektif membangun “literasi teknologi kritis”. Ini bukan sekadar mengoperasikan perangkat, tetapi memahami konsekuensi politik dan ekonomi dari teknologi itu.
Selain itu, revitalisasi nilai-nilai tradisional menjadi benteng penting. Filosofi hidup berbasis kearifan lokal seperti konsep “Sasi Laut” di Maluku yang mengatur konservasi berbasis adat, kini dipadukan dengan perangkat digital untuk memperkuat kontrol komunitas atas sumber daya laut mereka.
(am/dm)